Tugas IBD Manusia dan Sastra
MANUSIA DAN SASTRA INDONESIA
A. Sastra lahir dari
proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan
atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia
mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga
memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas
atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang
sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah,
mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha
memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain,
mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan
kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan
kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan
kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai
pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
B. Kesusastraan Indonesia
merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan
perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus
juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan
kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.
Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
C. pada kesepakatan ahli
yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai
Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda,
sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa
dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah
apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan
momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi
(1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933,
1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna
masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting.
Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan
mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan
penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Format baru Kalau momentum
sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra
Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga
momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan
budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi
nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis
struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern
(Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia
(Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai
rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan
ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra
Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup
tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang
dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.
D. Sejarah sastra Indonesia, seperti halnya sejarah sosial lainnya,
masih belum memperlihatkan kondisi yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra
Indonesia rumpang di sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh studi sastra yang
berpedoman pada kanonisasi dan kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi
yang telah ditulis sebelumnya, di samping juga karena keterbatasan sumber data
dan kritikus yang ada.Penulisan sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan
karya yang dianggap mewakili periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan.
Selain disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini juga memperlihatkan
pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai dengan semangat zamannya.
Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45,
Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat ini,
bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks
sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang erat antara
sastra dan masyarakatnya.Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk,
sejumlah genre sastra kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya
yang ada di media massa, terutama yang terbit di berbagai koran daerah, luput
dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan penerbit
partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya
awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk
dalam daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan
dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan
lagi, baik akibat sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah
kemerdekaan, maupun karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua.Namun,
kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang
tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan
hasilnya dapat kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama
(2005), misalnya, dengan cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang
terbit di Jawa Barat dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George
Quinn (1992) yang meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963)
yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang roman-roman
picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di sejumlah
artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony
Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik
karya sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.
E. Sastra Indonesia, dengan penambahan kata ”modern”, sering kali
menjadi awal perdebatan ketika berbicara tentang sejarah sastra Indonesia.
Pengaruh bentuk dan gaya sastra asing (baca: Barat) dijadikan patokan untuk
menyebut sastra Indonesia yang modern. Dalam nuansa dan konteks seperti ini,
kesinambungan sastra Indonesia yang modern dengan tradisi sastra yang sudah
ada, yang menjadi latar estetik para pengarang, menjadi kabur. Pergaulan
pengarang dengan budayanya, dengan tradisi estetik yang diterima secara budaya,
sekadar menjadi warna atau setting dalam proses kreatif yang dijalaninya.Pada
masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan
ditandai pada penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media
publikasi, bentuk pendidikan dan pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra
barat. Sebagai akibat, sastra lama kemudian dijadikan artifak, yang dikaji
melalui filologi atau arkeologi. Para peneliti sastra, khususnya sejarah
sastra, menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra
di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti sastra
menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja mereka. Kita
tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung dengan karya-karya lama
kita.Sementara waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan
yang serius ini mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan
kontemporer terus lahir, yang belum sepenuhnya mampu dibicarakan. Di lain sisi,
sastra lama kita juga semakin jauh dan asing. Kegundahan yang menyelimuti
kajian sastra Indonesia, terutama para penelitinya, tampaknya tergambar dalam
situasi seperti ini.
Komentar
Posting Komentar